BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam
kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan
yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan
masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian
yang serius dari pemerintah padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai
falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan
mendapat tempat yang sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab serta sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam berkehidupan di dalam masyarakat, setiap
orang tidak akan lepas dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan
individu yang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak akan
dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan
seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat
menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negative dan
dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini
sering disebut dengan tindak pidana.Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2
(dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan Korban.[1]
Namun dalam makalah ini, Pemakalah hanya
menjelaskan tentang korban, mennurut Arief
gosita korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan hak asasi pihak yang menderita. Untuk lebih lengkapnya
pemakalah akan menjelaskan di sub berikutnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian korban?
2.
Apa saja jenis-jenis korban?
3.
Apa saja hak dan kewajiban pada korban?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian korban
2.
Untuk mengetahui berapa macam jenis korban
3.
Untuk mengetahui hand an kewajiban korban
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KORBAN
Berbagai pengertian korban banyak
dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban
kejahatan, namun disini kami hanya mengambil beberapa pengertian dari ,
sebagian diantaranya sebagai berikut .
a.
Muladi
Korban
(victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah
menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi,
atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui
perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara,
termasuk penyalah gunaan kekuasaan.
b.
Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga
Korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup
rumah tangga.
c.
Peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 tentang tata cara
perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi mnusia yang
berat.[2]
d.
Arief gosita
Menurutnya
korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi pihak yang menderita.[3]
Namun Korban diartikan bukan hanya sekedar korban
yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga
mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan
sebagai korban suatu kejahatan tidaklah harus berupa individu atau perorangan,
tetapi bisa berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum.
Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk
kehidupan lainnya.Seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem.Korban semacam ini
lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.Namun, dalam pembahasan
ini korban sebagaimana dimaksud terkahir tidak termasuk didalamnya.[4]
B.
TIPOLOGI KORBAN
Perkembangan ilmu victimologi selain
mengajak masyarakat untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilah-milah
jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban yaitu sebagai
berikut.
a.
Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap
penanggulangan kejahatn.
b.
Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu
sehingga cenderung menjadi korban.
c.
Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan
terjadinya kejahatan
d.
Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban.
e.
False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan
yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana di
kemukakan diatas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang
diidentifikasikan menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut.
a.
Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini
tanggung jawab sepenuhnya rerletak pada pelaku.
b.
Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban
jugasebagai pelaku.
c.
Participatibng victims, yaitu seseorang yag tidak berbuat akan
tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d.
Biologocallyweak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e.
Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial
yang lemah menyebabkan ia menjadi korban.
f.
Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi,
dan prostitusi.
Pengelompokan korban menurut sellin
dan wolfgang, yaitu sebagai berikut.
a.
Primary victimizization, yaitu korban berupa individu atau
perorangan (bukan kelompok).
b.
Secondary victimization yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
c.
Tertiary victimization yaitu korban masyarakat luas.
d.
No victimization yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
Dilihat dari peranan korban dalam
terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat
empat tipe korban yaitu sebagai berikut
a.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa, tetapi tetap menjadi korban.
Untuk
tipe ini kesalahan ada pada pelaku.
b.
Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan.
Untuk
tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan
sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
c.
Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.
Anak-anak,
orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas
dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban.Korban dalam hal
ini tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
d.
Korban karena ia sendiri merupakan pelaku
Inilah
yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban.Pelacuran, perjudian, zina,
merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang
bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.[5]
Dalam buku lain jenis korban dibagi
menjadi enam bagian, yaitu:
1. Berdasarkan jenis viktimisasi
2. Berdasarkan jumlah
3. Berdasar hubungannya dengan
sasaran tindakan pelaku.
4. Berdasarderajat kesalahan
korban dalam tindak pidana yang terjadi
5. Berdasarkan factor
psikologis, sosial dan biologic
6. Dari aspek psikologi,
khususnya sikap batinnya.[6]
C.
HAK-HAK KORBAN
Hak merupakan sesuatu yang bersifat
pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak,
tergantung kondisi yang memengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun
eksternal.
Tidak jarang seorang yang mengalami
penderitaan akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak
mempergunakan hak-hak yang seharusnya diterima karena berbagai alas an. Sekalipun
demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang
telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau
keluarga korban kejahatan, yang meliputi:
a.
Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang
dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak
lainnya, seperti Negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani
masalah ganti kerugian korban kejahatan.
b.
Hak untuk memperoleh pembinaan atau rehabilitasi.
c.
Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku.
d.
Hak untuk memperolh perlindungan hukum.
e.
Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya.
f.
Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis
g.
Hak untuk dibeitahu bagi pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari
tahanansementara, atau bila pelaku buron dari tahanan.
h.
Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan
dengan kejahatan yang menimpa korban.
i.
Hak atas kebebasan pribadi/ kerahasiaan pribadi, seperti
merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.[7]
Untuk mengetahui hak-hak korban
secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan, salah satunya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5 undang-undang tersebut menyebutkan
beberapa hak korban, Namun hak tersebut dilakukan di luar pengadilan dan dalam
proses peradilan jika yang bersangkutan menjadi saksi. Apabila dicermati ayat
(2) dari pasal 5 tersebut, ternyata hak-hak dimaksud diberikan untuk
kasus-kasus tertentusesuai keputusan Lembaga Perlindungan Saksidan Korban
(LPSK).[8]
D.
KEWAJIBAN KORBAN
Sekalipun hak-hak korban kejahatan
telah tersedia secara memadai, mulai dari hak asasi keuangan(finasial) sehingga
ha katas pelayanan medis dan bantuan hukum, yidak berarti kewajiban dari korban
kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya.
Diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban
umum dari korban kejahatan, antara lain:
a.
Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/ balas
dendam terhadap pelaku ( tindakan pembalasan).
b.
Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemunkinan terulangnya
tindak pidana.
c.
Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang.
d.
Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan
terhadap pelaku.
e.
Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa
dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya.
f.
Kewajiban untuk membntu berbagai pihak yang berkepentingan dalam
upaya penanggulangan kejahatan.
g.
Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk
tidak menjadi korban lagi.
[1]http://kumpulanmakalah123.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-tentang-viktimologi-ruang.html
[2]Dikdi M. Arief Mansur danElisatris Gultom,Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan antara norma dan realita, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003, hlm. 45-47.
[3] G. Widiaetana,Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan
Kejahatan,, Yogyakarta: Atmajaya, 2009, hlm.
[4]http://kumpulanmakalah123.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-tentang-viktimologi-ruang.html
[5] Dikdi M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan antara norma dan realita, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003, hlm. 49-51.
[6] G. Widiaetana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan
Kejahatan, Yogyakarta: Atmajaya, 2009, hlm.
[7]Dikdi M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan antara norma dan realita, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003, hlm. 52-53.
[8] Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta:
Sinar Grafika, 2014, hlm.40-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar